Hukum ngalap berkah dari sisa makan atau minum dari Habib, kiyai, Ustad
Baca Juga :
Bismillah
Ngalap Berkah Dari Sisa Makan Dan Minum Pak Kyai, Syaikh, Atau Habib
By : Berik Said
Menetapkan berkah tidaknya sesuatu itu termasuk urusan ghaib yang tidak bisa ditetapkan dengan perasaan, dan hanya bisa diterima jika itu ditetapkan oleh Allah lewat lisan Rasul-Nya sebagaimana yang dipahami para Salafush Shalih.
Jika prinsip di atas telah dipahami, maka ana sampaikan, memang banyak orang yang berebutan meminum sisa air minum Kyai, Syaikh, Habib, dan sebagainya, atau sisa makanannya dengan niat ngalap berkah.
Bahkan ada Kyai, Syaikh, Habib, dan sebagainya, yang sengaja minum atau makan sedikit, lalu sisa makanan dan minumannya itu sengaja dibiarkan untuk dijadikan rebutan para santrinya atau orang awam khususnya dengan menganggap hal itu sebagai berkahnya Kyai.
Sebagian lagi ada yang ngalap berkah misal dengan mencium atau menempelkannya pada baju atau benda fisik peninggalan Kyai, Syaikh, atau Habib pujaannya baik yang masih hidup maupun yang telah mati.
Apakah fenomena ini dibenarkan secara syariat ?
Jawabannya :
Di muka bumi ini tidak ada satu sosok fisik manusia yang tubuhnya dinyatakan mengandung berkah selain para Nabi atau Rasul ‘alaihimus shalawatu wa sallam, khususnya Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karenanya bekas air minum mereka atau benda fisik yang ada pada mereka -para Nabi dan Rasul 'alaihimus shalawatu wa sallam- memang boleh dijadikan sebagai sarana ngalap berkah.
Tidak terhitung hadits shahih yang menunjukkan hal ini.
Dulu para Shahabat radhiallahu ‘anhum berebutan mengambil sisa air wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dilumurkan ke wajah atau tubuh mereka dengan tujuan ngalap berkah.
Salah satunya sebagaimana diceritakan Abu Juhaifah radhiallahu ‘anhu berikut:
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِه.
"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dalam keadaan cuaca yang begitu panas. Beliau didatangkan air untuk berwudhu, lantas beliau berwudhu dengannya. Ketika itu orang-orang mengambil bekas wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut lantas mengusap-usapkannya". [HSR. Bukhari no.187 dan Muslim no.503]
Hadits shahih di atas menunjukkan bahwa ngalap berkah semisal dari bekas sisa air wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dibenarkan secara syariat.
Ada juga sebagian Shahabat radhiallahu ‘anhum yang ngalap berkah dengan sengaja menempelkan tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ditempelkan pada wajah mereka.
(Lihat pada HSR. Bukhari 3553)
Bahkan sebegitu berkahnya fisik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaipun setelah wafatnya, sampai-sampai saat Ibnu Sirin rahimahullah memiliki dan menyimpan sebagian rambut milik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ubaidah rahimahullah berkata:
لَأَنْ تَكُونَ عِندِي شَعَرَةٌ منه أحَبُّ إلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وما فِيهَا.
"Andai aku memiliki seutas saja dari rambut beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, maka itu jauh lebih aku sukai daripada aku memiliki dunia seisinya". [HSR. Bukhari no.170]
Adapun orang selain Nabi, betapapun tinggi kedudukannya, maka tidak boleh kita menetapkan keberkahan dari fisiknya, apalagi menetapkan sisi keberkahan dari bekas minuman atau air wudhunya, dengan melumurkan kebadannya dan sebagainya dan menganggap hal itu bagian dari ngalap berkah.
Bahkan perbuatan semacam ini bila dilakukan selain pada Nabi, maka sangat berpotensi membuka pintu syirik.
Sebagai bukti terkuat diantara hal ini adalah kita tahu, manusia terbaik setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalawatu wa sallam tentunya para Shahabat Nabi radhiallahu ‘anhum.
Dan Shahabat yang terbaik urutannya diantaranya adalah Abu Bakar, lalu diikuti Umar, Utsman dan Ali radhiallahu ‘anhum.
Tetapi, tidak ada diantara mereka satu pun yang saling mencari berkah pada fisik mereka, baik saat mereka masih hidup, apalagi setelah wafatnya.
Tidak pernah kita mendengar Umar, Utsman, dan Ali mengambil berkah pada bekas wudhu atau bekas air minumnya Abu Bakar radhiallahu ‘anhum misalnya. Atau sebagaian Shahabat pada sebagaian Shahabat lainnya.
Andaikata ngalap berkah pada fisik manusia itu berlaku pada semua manusia dan tidak terbatas untuk para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalawatu wa sallam saja, maka sudah tentu mereka sebagai generasi manusia terbaik setelah para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalawatu wa sallam akan lebih pantas saling mengambil berkah pada fisik diantara mereka.
Saat secara pasti tidak diketahui diantara mereka ada yang pernah melakukan hal itu, maka ketahuilah kita, bahwa mengambil keberkahan pada fisik manusia atau bekas benda yang pernah disentuhnya itu hanya khusus berlaku pada para Nabi dan Rasul ‘alaihimus shalawatu wa sallam, dan tidak berlaku pada manusia lainnya betapapun hebatnya ketaqwaannya.
Atas dasar inilah, maka Ibnu Rajab rahimahullah saat menjelaskan hal ini berkata:
وكذلك التبرك بالآثار؛ فإنما كان يفعله الصحابة رضي الله عنهم مع النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكونوا يفعلونه مع بعضهم ببعض ولا يفعله التابعون مع الصحابة، مع علو قدرهم. فدل على أن هذا لا يفعل إلا مع النبي صلى الله عليه وسلم مثل: التبرك بوضوئه وفضلاته وشعره وشرب فضل شرابه وطعامه.
"Demikian pula bertabarruk (ngalap berkah) dengan peninggalan orang shaleh.
Sesungguhnya para Shahabat radhiallahu 'anhum hanya melakukan tabarruk dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja, dan mereka tidak melakukan hal tersebut antar satu Shahabat dengan Shahabat lainnya, dan tidak pernah pula dilakukan oleh tabii'in ke para Shahabat radhiallahu ‘anhum.
Padahal mereka memiliki kedudukan yang sangat tinggi.
Ini menunjukkan bahwa ngalap berkah hanya dilakukan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, seperti ngalap berkahnya dengan air wudhu beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, atau yang keluar dari tubuh beliau (misal ludah), atau rambut beliau, atau sisa minuman dan makanan beliau".
Tidak cukup di situ, bahkan Ibnu Rajab rahimahullah juga mengingatkan:
وفي الجملة فهذه الأشياء فتنة للمعظَّم وللمعظِّم؛ لما يخشى عليه من الغلو المدخل في البدعة، وربما يترقى إلى نوع من الشرك، كل هذا إنما جاء من التشبه بأهل الكتاب.
"Kesimpulannya, perbuatan mengambil berkah semacam ini (selain yang dilakukan pada fisik Nabi) merupakan fitnah yang amat besar yang diagungkan maupun yang mengagungkannnya. Mengingat dikhawatirkan dengan perbuatan seperti ini muncul tindakan berlebihan yang menjadi pintu bid’ah, bahkan terkadang bisa masuk sampai level syirik.
Semua ini termasuk bagian dari meniru kebiasaan Ahlul Kitab".
(Lihat Manhaj Al-Hafizh Ibnul Hajar Al-Ashqalani fil Aqidah, karya Muhammad Ishaq Kandur I:1028)
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami
Share Artikel Ini