Wayang, ada baiknya ada buruknya. Katanya begitu. Ia bisa dipakai untuk syiar kebaikan atau kemunkaran. Tergantung lakon, kisah dan dalang. Karena wayang hanya wasilah. Ambil baiknya, buang buruknya.

Katanya begitu.

Yuk, kita selancar ke sajen.

Sajen, ada baiknya ada buruknya. Bisa dipakai buat kebaikan atau kemunkaran. Tergantung tujuan, di mana dan pelakunya. Sajen hanya wasilah. Ambil baiknya, buang buruknya.

Patung juga begitu. Kan ga semua patung buat berhala. Ada yang buat sebatas kenangan, monumen, hiasan dan media seremonial.

========

Yang berpemikiran seperti itu mesti merasa objektif, adil, proporsional dan baik. Ya akhi, beda antara objektif dengan bodoh. Kebodohan kadang menawarkan pemiliknya untuk bersikap objektif dan memandang dari beragam segi, tapi tidak pada tempatnya. Dan suatu keajaiban jika kebodohan ini terlahir di jemari guru agama.

Ketegasan dalam masalah ini bukan sikap berlebihan. Yang menganggapnya berlebihan hanya muqashshir, bunglon, ahul bid'ah, ahlul ahwa dan ahlul ghaflah.

Wayang merupakan penggambaran dan pembentukan makhluk hidup. Terlarang dari dzatnya. Apaun tujuannya. Walau untuk kasus minimal seperti boneka untuk anak perempuan. Tidak ada bocah menjadikan wayang sebagai boneka.

Sama seperti tato, terlarang dari sananya. Terlaknat pula pemiliknya. Walaupun tatonya bertuliskan syahadat.

Ini bukan masalah ambil baiknya buang buruknya. Ya kalau dalam Islam sudah dilarang, walau misal ada kebaikannya, maka bukan kebaikannya yang dipertimbangkan, tapi larangannya.

Pohon dzat anwath untuk titipan senjata dan tabarrukan pun ada kebaikannya, yaitu motivasi dan semangat pemercayanya. Tapi itu syirik. Terlarang. Padahal itu hanya pohon. Jangan diselewengkan pembahasan ke masalah buah yang bermanfaat, atau daun sebagai obat, atau tempat berteduh. Permasalahan dilihat dari core-nya. Intinya. Jangan dikaburkan.

Kalau belum paham, coba fahami dulu basic dari makna wayang.