Ikut madzhab siapa? Sebuah bantahan
Baca Juga :
IKUT MADZHAB SIAPA ??
A : Sampeyan ikut madzhab siapa, Mas ??
B : Ah, saya orangnya netral kok, Pak. Saya tidak ikut madzhab siapa-siapa. Yang penting dalilnya shahih, pengambilan hukumnya benar, maka pendapat dari madzhab yang mana saja akan saya ikuti.
A : Lhoooo, tidak bisa begitu. Dalam beragama ini kita harus bermadzhab. Pilihlah salah satu.
B : Oh begitu, Kalau boleh tahu, apa dalilnya dalam beragama ini kita harus bermadzhab, Pak ??
A : Yaaaa, Dalil langsung sih tidak ada. Itu hanya konsekuensi saja. Soalnya kalau kita tidak bermadzhab, kita akan kesulitan memahami Al-Qur'an dan Hadits. Kita ini kan bukan Ulama. Jadi harus meruju' pada madzhab tertentu untuk bisa mengerti ajaran-ajaran Islam.
B : Tidak begitu kok, Pak. Saya memang tidak taklid dengan madzhab tertentu. Saya juga tidak berpegang dengan satu madzhab tertentu.
Tapi bukan berarti saya memahami Al-Qur'an dan Hadits dengan pemahaman saya sendiri lho.
Saya tetap meruju' pada penjelasan para Imam dalam Islam. Bukan hanya 4 Imam saja, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad; tapi juga Imam-imam yang lain.
Biasanya penjelasan para Imam itu sudah diintisarikan oleh para Ulama dalam kitab-kitab mereka, sehingga sangat memudahkan bagi umat Islam untuk memahami ajaran-ajaran Islam.
A : Lha memangnya kenapa to sampeyan kok tidak mau memegang satu madzhab tertentu ?? Memangnya itu salah ??????
B : Bukan masalah salah atau tidak salahnya, Pak. Tapi masalahnya Islam ini melarang kita untuk taklid dan fanatik pada satu figur tertentu kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Sementara, kenyataan yang sering terjadi, kalau orang sudah berpegang dengan madzhab tertentu, maka dia akan taklid dan fanatik habis-habisan dengan madzhab itu. Tidak perduli meskipun ada ajaran dalam madzhab tersebut yang sebenarnya bertentangan dengan hadits Nabi yang shahih, atau bahkan tidak sesuai dengan petunjuk Al-Qur'an.
Misalnya orang taklid sama Madzhab Syafi'i, maka akan dibela mati-matian meskipun tidak sesuai dengan petunjuk Nabi. Atau orang yang fanatik dengan madzhab Ahmad, maka dia akan kekeuh dengan madzhab Ahmad meskipun bertentangan dengan hadits yang shahih.
Ini semua tentu tidak boleh. Soalnya Nabi kita kan bukan Imam madzhab ya Pak, tapi Nabi kita adalah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
A : Wah, betul juga ya. Terus, bagusnya gimana ya ??
B : Alangkah baiknya kita bersikap netral. Tidak fanatik dengan madzhab ini atau itu. Kita beragama sesuai dengan dalil yang shahih.
Keuntungannya, kita bisa memilih mana dari ajaran madzhab-madzhab itu yang sesuai petunjuk Kitabullah dan Sunnah Nabi. Misalnya dalam suatu perkara madzhab Hanbali yang cocok dengan Sunnah Nabi, ya itu yang kita ambil. Atau misalnya dalam perkara lain madzhab Syafi'i yang cocok dengan hadits yang shahih, ya itulah yang kita jalani. Begitu pula dengan madzhab Hanafi atau Maliki. Jadi enak, kita tidak jumud alias monoton. Keilmuan dan wawasan kita terus berkembang karena kita memiliki ruang beragama yang luas, tidak dibatasi oleh satu ruang madzhab tertentu.
A : Masyaa Allaah, saya kok baru nyadar ya. Jadi kesimpulannya apa ya ??
B : Kesimpulannya, orang yang taklid dengan yang tidak taklid dengan suatu madzhab memiliki kesamaan dan perbedaan.
Kesamaannya adalah, bahwa keduanya sama-sama memiliki peluang untuk mempelajari dan mengamalkan suatu madzhab.
Perbedaannya, kalau orang yang taklid, dia tidak mau tahu madzhabnya sesuai atau tidak dengan hadits Nabi. Kalau tidak madzhab itu tidak mau. Sehingga dia seolah lebih mendahulukan ajaran madzhab daripada petunjuk Nabi.
Sedangkan orang yang tidak taklid, dia tetap mempelajari madzhab, tapi secara umum. Dia memilah memilih. Mana yang paling sesuai dengan hadits shahih serta kandungan Al-Qur'an, itulah yang dia pegang. Jadi dia tetap mendahulukan petunjuk Nabi sebagai petunjuk yang pertama dan utama. Khazanah keilmuannya akan terus berkembang karena dia bisa bergerak kemana saja mempelajari madzhab ini dan itu, kemudian mencocokkannya dengan hadits-hadits yang shahih serta nilai-nilai Kitabullah. Ini semua tentu tetap dengan bimbingan para Ulama lho, bukan dengan pemahaman kita sendiri.
Makanya, inilah sebabnya mengapa kita harus belajar agama kepada para Ulama, atau kepada murid-muridnya para Ulama. Kita bisa belajar di pesantren-pesantren. Kalau tidak bisa nyantri, kita bisa hadir di kajian-kajian atau majelis ilmu yang alhamdulillah saat ini sudah banyak dimana-mana. Dari pesantren atau majelis ilmu itulah kita bisa mengetahui, ini loh hadits Nabi yang shahih, dan madzhab ini loh yang sesuai dengan hadits tersebut; sehingga inilah yang semestinya diamalkan. Begitu, Pak.
A : Subhaanallaah.. Syukron atas pencerahannya ya Mas. Saya baru mudeng sekarang.
B : Sama-sama, Pak. Alhamdulillaah bifadhlillaah.
[Taken anda edited from : Ust Ammi Aac]
""""""""
Tambahan dari Admin :
□ Ketahuilah saudaraku yang saya cintai dan yang saya muliakan, semoga Allahu Ta'ala membimbing serta merahmati kita semua.
□ Bahwasanya menolak atau mengingkari 1 (satu) hadits saja dari Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam bisa menyebabkan kita terjatuh dalam perkara kekafiran, ia dapat keluar dari Islam jika hujjah telah tegak kepadanya.
□□□ Namun, jika kita menolak perkataan, ucapan, pendapat, serta ketetapan dari seseorang yang memang menyelisihi Kitabullah wa Sunnah Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam, maka : Kita tidak berdosa, bahkan itu dibenarkan oleh sang pembuat syari'at Allah Tabaroka wa Ta'ala
[Lihat surat an-Nisaa' ayat 59]
□□ Jadi, menolak atau istilah bahasa halusnya tidak mengikuti ucapan atau pendapat imam madzhab yang kurang kuat atau tidak cocok dengan Kitabullah wa Sunnah Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam, bukanlah berarti kita tidak menghormati dan tidak menghargainya dan seterusnya, bukan begitu.
□□ Akan tetapi, dengan kita tidak mengambil atau mengikuti ucapan, perkataan, serta pendapatnya yang tidak mencocoki dalil dari al-Qur'an dan As-Sunnah, adalah justru suatu penghormatan kepada para Imam dan para Ulamaa' tsb !!
□□ OLEH KARENA ITU, JIKA ADA SAUDARA KITA YANG TIDAK MENISBATKAN DIRI PADA SALAH SATU MADZHAB, TIDAK MENGINGATKAN DIRI DIRI HANYA PADA SATU MADZHAB, TIDAK FANATIK PADA SALAH SATU IMAM MADZHAB, MAKA BUKAN BERARTI IA ANTI TERHADAP MADZHAB !!
□□ Kenapa ???
Sebab : Merekal (para Ulamaa'wink sendiri lah yang menganjurkan untuk meneliti
• semua ucapan,
• perkataan,
• dan pendapat yang menyelisihi al-Kitab wa Sunnah Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam
• dan melarang taklid buta kepada mereka apabila telah tegak dalil kepadanya !!
□□ Dan hal ini akan sulit dilakukan jika kita malah taqlid buta dan fanatik hanya pada salah satu Imam atau madzhab saja,
□□ karena fanatik pada salah satu madzhab saja tentu hanya akan mengikuti pendapat dari madzhab tsb, tanpa mau tahu bagaimana pendapat yang lain,
□□ bahkan terkadang tanpa mau tahu apakah pendapat yang ia ikuti dan ia bela-bela tsb cocok atau tidak dengan dalil, asalkan pendapat itu dari madzhabnya maka dianggapnya pasti benar dan diikuti begitu saja bahkan mati2an dibela.
□□ Mari kita perhatikan para ulama kita yang justru menganjurkan kepada pengikutnya untuk mengikuti dalil (al-Qur'an dan As-Sunnah), serta melarang mengikuti perkataannya jika tidak sesuai dengan keduanya dan justru menganjurkan untuk mengikuti al-Qur'an dan As-Sunnah yang Shahiih jika memang ucapannya bersebrangan dengan dalil :
■ Imam Abu Hanifah rahimahullaahu ta'ala berkata :
"Tidak halal bagi seseorang mengambil perkataan kami selama ia belum mengetahui dari mana kami mengambilnya."
(I'laamul Muwaqqi'iin, III/488)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata :
"Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku."
(Iiqaazhul Himam, hal. 62)
■ Imam Malik rahimahullaahu ta'ala berkata :
"Sesungguhnya aku hanya seorang manusia, terkadang aku benar dan terkadang salah. Maka lihatlah pendapatku, setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Kitab (baca : al-Qur'an) dan As-Sunnah (baca : hadits) maka ambillah, dan setiap yang tidak sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah maka tinggalkanlah."
(Jaami'Bayaanil'Ilmi wa Fadhlihi, I/775, no. 1435, 1436)
■ Imam asy-Syafi'i rahimahullaahu ta'ala berkata :
"Setiap orang pasti terlewat dan luput darinya salah satu Sunnah (baca : hadits) Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam. Apa pun pendapat yang aku katakan atau prinsip yang aku tetapkan (baca : katakan) kemudian ada hadits dari Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam, yang ternyata bertentangan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan Rasulullah shallallaahu'alaihi wa sallam itulah yang diambil. Dan itulah yang menjadi pendapatku."
(Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/475, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/46 - 47)
Beliau rahimahullaahu ta'ala juga berkata :
"Setiap yang aku ucapkan, namun ada hadits Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam yang shahih menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi shallallaahu'alaihi wa sallam itulah yang lebih patut diikuti. Maka janganlah kalian taklid kepadaku."
(Manaaqib al-Imam asy-Syafi'i, I/473, dan I'laamul Muwaqqi'iin, IV/45 - 46)
■ Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaahu ta'ala berkata :
"Kalian tidak boleh taklid kepadaku, tidak boleh juga taklid kepada Malik, Syafi'i, al-Auza'i, dan ats-Tsauri, tetapi ambillah darimana mereka mengambil."
(I'laamul Muwaqqi'iin, III/469)
□□□ Lihatlah wahai saudaraku, begitu indah perkataan para imam-imam kita yang menyeru untuk mengikuti
• dalil,
• nash,
• hujjah,
• dan menolak semua pendapat jika menyelisihi al-Qur'an dan As-Sunnah, • serta justru melarang untuk taklid buta terhadap seseorang yang dikhawatirkan akan membuatnya buta dari kebenaran.
• Mereka semua berkata tidaklah dengan hawa nafsunya akan tetapi mereka semua rahimahumullaahu ta'ala berkata berdasarkan ilmu dan ketakwaannya untuk mengikuti dalil. Sebab : Agama Islaam tegak dengan dalil.
Islaam adalah agama dalil.
Hanya pada Allaah kita memohon petunjuk.
[Abdullah Khansa]
Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami
Share Artikel Ini