Apakah imam Al Bukhari seorang pengikut Asyariah? Sebuah bantahan
Baca Juga :
Imam al-Bukhari Seorang Pengikut Asy’ari?
Oleh: Muhammad Ode Wahyu
Para pengikut kelompok Asy’ari mengklaim bahwa Imam al-Bukhari –rahimahullah- merupakan salah seorang tokoh pengikut Asy’ari layaknya mereka. Alasannya, karena imam al-Bukhari -rahimahullah- menakwil kata “Wajah Allah” dalam kitab Sahihnya dengan makna kerajaan, sesuai dengan yang mereka pahami.
Dalam Kitab Sahihnya, letaknya dalam “Kitab Tafsir” Surah al-Qashash, ketika menafiskan firman Allah -Azza wajalla-:
كُلُّ شَيۡءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجۡهَهُ
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali wajah Allah.” (QS. Al-Qashash: 88)
Beliau berkata:
إلا ملكه
“(Maksud dari wajah Allah) adalah kerajaanNya.” (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 6, hal. 112, Maktabah Syamilah).
Tafsir yang beliau lakukan ini mereka anggap sebagai takwil. Kata mereka, pada ayat ini imam al-Bukhari menakwil wajah Allah sebagai kerjaanNya. Beliau tidak memahaminya sesuai zahirnya, melainkan menakwlkannya dengan makna kerajaan. Oleh karena hal ini, mereka kemudian memasukkan imam al-Bukhari –rahimahullah- dalam deretan ulama-ulama Asya’irah.
Kenyataannya, justru imam al-Bukhari –rahimahullah- merupakan salah seorang ulama yang bertolak belakang dengan apa yang mereka yakini. Keyakinannanya sama dengan keyakinan para ulama salaf, yaitu mengistbat sifat-sifat Allah secara hakikat dan menolak perbuatan takwil.
Dalam kitab Raf’u al-Yadain yang beliau tulis, beliau berkata:
فليحذر امرء أن يتأول أو يتقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل
“Hendaklah seseorang merasa takut melakukan takwil atau mengada-adakan perkataan atas Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sedang beliau tidak mengatakan hal itu.” (al-Bukhary, Raf’u al-Yadain Fi ash-Sholah, Hal. 95, Daar Ibnu Hazm-Beirut, cet. 1, 1416 H.)
Pada penggalan perkataan ini, sangat jelas bahwa beliau menolak takwil dan justru memperingati manusia agar tidak melakukan takwil serta mengada-ngada terhadap perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula pada sifat-sifat Allah -Azza wajalla- yang disebutkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam haditsnya atau yang disebutkan oleh Allah -Azza wajalla- sendiri dalam ayat-ayatNya.
Sikap beliau yang menolak takwil ala Asya’irah juga dapat kita ketahui dari nukilan beliau terhadap perkataan Yazid bin Harun -rahimahullah- dalam kitab Khalqu Af’al Ibadnya yang berkata:
من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب العامة فهو جهمي
“Barangsiapa berkata bahwa Allah di atas Arsy beristiwa tidak sesuai dengan yang dipahami oleh umumnya manusia, maka ia adalah seorang Jahmi.” (al-Bukhari, Khalqu Af’al al-Ibad, Tahqiq Fahd bin Sulaiman al-Fahid, hal. 540, Maktabah al-Malik Fahd Atsnaa an-Nasyr-Riyadh, cet.4, 1440 H.)
Tentang istiwa, imam al-Bukhari -rahimahullah- memiliki keyakinan yang berbeda dengan Asyairah. Imam al-Bukhari -rahimahullah- mengitsbat sifat tersebut dan memahami maknanya bahwa Allah berada di atas langit dengan zatNya secara hakikat. Adapun Asya’irah menakwilnya dan mengatakan bahwa makna istiwa adalah istaula (menguasai) dan tidak boleh dipahami bahwa makna istiwa adalah menetap di atas langit. Karena itu, mereka melarang menunjukkan tangan ke arah atas langit untuk menunjukkan bahwa Allah berada di atasnya. Keyakinan ini sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh imam al-Bukhari –rahimahullah-, bahkan ia merupakan keyakinan kaum Jahmiyah. Untuk membantah keyakinan ini, imam a-Bukhari -rahimahullah- menukil beberapa ucapan ulama dalam Khalqu Af’al a-Ibadnya, diantaranya adalah perkataan Hammad bin Zaid –rahimahullah- yang berkata:
مَا يُجَادِلُونَ إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ
“Tidaklah mereka berdebat kecuali untuk mentapkan keyakinan bahwa di atas langit tidak ada Tuhan.” (al-Bukhari, Khalqu Af’al al-Ibad, Tahqiq Fahd bin Sulaiman al-Fahid, hal. 540, Maktabah al-Malik Fahd Atsnaa an-Nasyr-Riyadh, cet.4, 1440 H.)
Ini merupakan perkataan yang sangat tegas yang menunjukan itsbat sifat Allah -Azza wajalla- dan tidak menakwil. Sikap beliau dalam mengisbat sifat-sifat Allah -Azza wajalla- secara hakikat juga dapat dilihat dalam bab-bab Kitab Tauhid yang termuat dalam kitab Sahihnya. Dalam kitab tersebut beliau menukil hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memahamkan para sahabat –radhiyalahu ‘anhum- sifat-sifat Allah -Azza wajalla- secara hakikat tanpa takwil.
Ketika mengitsbat adanya “Mata” bagi Allah, beliau membuat bab yang berjudul “Bab Qaulu Ta’ala Walitushna’a ‘ala ‘aini”. Pada bab ini, Imam al-Bukhari -rahimahullah- menukil hadits Nabi yang yang menyebutkan bahwa Allah -Azza wajalla- tidak a’war (buta sebelah mataNya), sedangkan Dajjal matanya buta sebelah. Ketika Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menyebut bahwa Allah –Azza wajalla- tidaklah a’war, beliau sampai menunjuk matanya sendiri untuk menjelaskan bahwa makna yang dimaksud adalah mata yang dipahami oleh para sahabat, yaitu mata secaa hakikat dan bukanlah majaz, sehingga tidak butuh untuk menakwilkannya. Ini berbeda dengan pemahaman Asya’irah. Bagi mereka, seorang yang mengatakan bahwa Allah -Azza wajalla- memiliki mata sesuai dengan keagunganNya merupakan akidah musyabbihah mujassimah yang sesat, dan ini adalah keyakinan kaum Jahmiyah yang mereka adaopsi. Makanya, mereka mengambil jalur takwil dengan maksud untuk menyucikan Allah -Azza wajalla-.
Padahal, para sahabat dan para salaf tidak pernah melakukan takwil, justru memahaminya secara zahir dan inilsh keyakinan imam al-Bukhari –rahimahullah-. Para salaf bahkan menisbatkan perbuatan takwil pada kelompok Jahmiyah. Imam Ibnun Rajab al-Hambali -rahimahullah- berkata:
ولم يتأول الصحابة ولا التابعون شيئا من ذلك ولا أخرجوه عن مدلوله بل روي عنهم ما يدل على تقريره والإيمان به وإمراره كما جاء .... وكان السلف ينسبون تأويل هذه الآيات والأحاديث الصحيحية إلى الجهمية
“Para saahabat dan tabi’in tidak pernah menakwil satupun (dari ayat dan hadits) dan mereka tidak pula mengeluarkannya dari apa yang ditunjukkan olehnya. Justru diriwayatkan dari mereka yangt menunjukkan bahwa mereka menetapkannya, mengimaninya dan membiarkannya sebagaimana ia datang…. Para salaf dahulu menisbatkan perbuatan menakwil ayat-ayat dan hadits-hadits sahih pada kelompok Jahmiyah.” (Ibnu Rajab al-Hanbali, Fathul Bari Fi Syarh Sahih Bukhari, Tahqiq Abu Mu'adz Thariq bin Awadhullah bin Muhammad, Jilid 5, hal. 74-75, Daar Ibnu al-Jauzi-Damam, cet. 1, 1440 H).
Dari sini jelas, beliau membedakan sikap saat membahas ayat sifat Allah pada Kitab Tafsir dan pada Kitab Tauhid. Pada kitab tafsir beliau menafsirkan ayat dengan menjelaskan makna yang dipahami oleh orang Arab dari kalimat itu, sehingga menafsirkan ayat “Semua akan binasa kecuali wajahNya, maksudnya semua akan hancur kecuali kerajaanNya, dan dikatakan pula bahwa maksudnya adalah semua akan binasa kecuali yang diniatkan untuk meraih keridhaan Allah.” (al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid 6, hal. 112, Maktabah Syamilah).
Adapun saat membahas ayat dan hadits sifat pada Kitab Tauhid, beliau tidak menafsirkan maksud teks ayat itu sebagaimana pada Kitab Tafsir, melainkan menggunakan ayat itu untuk menetapkan sifat Allah –Azza wajalla-.
Oleh karenanya, pada Kitab Tauhid saat menukil ayat yang sama pada surah al-Qashash yang disebutkan pada Kitab Tafsir, bahwa “Semua akan binasa kecuali wajah Allah”, beliau tidak lagi menyinggung tafsirnya. Beliau menafsirkannya hanya pada kitab tafsir karena memang disitulah tempatnya menafsirkan ayat. Sedangkan pada Kitab Tauhid beliau membiarkannya dengan maksud menetapkan sifat Wajah Allah.
Hal ini lebih jelas pada saat beliau membuat bab “Walitushna’a ‘ala Aini” pada Kitab Tauhid. Kalau ditafsirkan, ayat itu bermakna bahwa “Semuanya berada dibawah pengawasan Allah”. Namun, imam al-Bukhari -rahimahullah- tidak menafsirkannya pada Kitab Tauhid, melainkan menukil hadits yang menegaskan bahwa Allah tidak memiliki mata yang buta sebelah, hingga beliau menunjuk pada mata beliau sendiri untuk memahamkan bahwa makna mata itulah yang dimaksudkan tanpa menyerupakan bahwa seperti itulah Mata Allah itu.
Inilah yang dimaksudkan oleh guru imam al-Bukhari –rahimahullah- Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i –rahimahullah- yang dinukil oleh imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam tafsirnya:
مَنْ شَبَّهَ اللَّهَ بِخَلْقِهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ جَحَدَ مَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ فَقَدْ كَفَرَ
“Barangsiapa menyerupakan Allah dengan makhluk maka dia kafir. Dan barangsiapa pula yang ingkar terhadap apa yang Allah sifatkan untuk diriNya sendiri maka dia juga kafir”
Olehnya, imam Ibnu Katsir -rahimahullah- memperjelas setelah itu dengan perkataannya
:
وَلَيْسَ فِيمَا وَصَفَ اللَّهُ بِهِ نَفْسَهُ وَلَا رَسُولَهُ تَشْبِيهٌ، فَمَنْ أَثْبَتَ لِلَّهِ تَعَالَى مَا وَرَدَتْ بِهِ الْآيَاتُ الصَّرِيحَةُ وَالْأَخْبَارُ الصَّحِيحَةُ، عَلَى الْوَجْهِ الَّذِي يَلِيقُ بِجَلَالِ اللَّهِ تَعَالَى، وَنَفَى عَنِ اللَّهِ تَعَالَى النَّقَائِصَ، فَقَدْ سَلَكَ سَبِيلَ الْهُدَى
“Apa yang Allah sifatkan untuk diriNya sendiri dan apa yang disifatkan oleh Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang Allah bukanlah penyerupaan Allah dengan makhluk. Barangsiapa mengitsbat (menetapkan) sifat Allah berdasarkan ayat yang jelas dan hadits-hadits yang sahih, sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan pada Allah sifat-sifat yang kurang, maka sungguh ia telah menempuh jalan hidayah.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Jilid 2, hal. 202-203, Daar al-Kutub al-Ilmiyah-Beirut, Cet 3, 1433 H)
Apa yang dilakukan oleh imam al-Bukhari –rahimahullah- pada Kitab Tafsir jelas bukan lah takwil yang dipahami orang-orang Asya’irah. Sebab, yang dilakukan oleh imam al-Bukhari –rahimahullah- adalah menjelaskan makna ayat secara utuh yang dipahami oleh orang Arab tanpa menafikan adanya sifat Allah secara hakikatnya.
Ini yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- saat menjelaskan perkataan Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu-: yang menafsirkan firman Allah –Azza wajalla-:
يَوۡمَ يُكۡشَفُ عَن سَاقٖ
“Pada hari betis disingkapkan.” (QS. Al-Qalam: 42)
Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhu- berkata bahwa makna ayat ini adalah asy-Syiddah yaitu hari yang sulit. Imam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- kemudian berkata:
وَلَا ريب أَن ظَاهر الْقُرْآن لا يدل على أَن هَذِه من الصِّفَات، فَإِنَّهُ قَالَ {يَوْم يكْشف عَن سَاق} نكرَة فِي الْإِثْبَات لم يضفها إِلَى الله وَلم يقل عَن سَاقه فَمَعَ عدم التَّعْرِيف بِالْإِضَافَة لَا يظْهر أَنه من الصِّفَات إِلَّا بِدَلِيل آخر وَمثل هَذَا لَيْسَ بِتَأْوِيل إِنَّمَا التَّأْوِيل صرف الْآيَة عَن مدلولها ومفهومها وَمَعْنَاهَا الْمَعْرُوف وَلَكِن كثيرا من هَؤُلَاءِ يجْعَلُونَ اللَّفْظ على مَا لَيْسَ مدلولا لَهُ ثمَّ يُرِيدُونَ صرفه عَنهُ ويجعلون هَذَا تَأْوِيلا وَهَذَا خطأ
“Tidak diragukan lagi bahwa zahir dari ayat al-Qur’an ini tidak menunjukkan sifat sebagai maksudnya. Sebab Allah -Azza wajalla- berfirman “Pada hari betis disingkapkan” berbentuk nakirah dalam menetapkannya dan tidak menyandarkannya pada Allah –Azza wajalla- dan Allah juga tidak menyebutkan sebagai betisNya. Sehingga karena tidak adanya pengidhafahan yang bisa menjelsakannya, maka tidak tampak pada ayat itu sebagai penjelasan sifat, kecuali ditunjukkan oleh dalil yang lain. Dan yang seperti ini bukanlah takwil. Sebab yang dimaksud dengan takwil adalah memalingkan makna ayat dari apa yang dipahami dan ditunjukkan olehnya.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’at al-Fatawa, Tahqiq Farid Abdul Aziz al-Jundi dan Asyraf Jalaluddin asy-Syarqawi, Jilid 3, hal. 586, Daar al-Hadits-Kairo, t.cet, 1435 H.)
Sudah maklum oleh para ulama mengenai pembuatan judul bab yang dilakukan oleh imam al-Bukhari -rahimahullah- dalam kitab Sahihnya, yaitu untuk menjelaskan sikap dan keyakinannya baik dalam masalah fiqh maupun akidah. Dan, pada Kitab Tauhid beliau menjelaskan sikapnya dalam mengistbat sifat-sifat Allah –Azza wajalla- yang ditolak oleh para ahli kalam. Beliau mengitsbat adanya mata pada Allah –Azza wajalla-, beliau juga mengitsbat Wajah Allah –Azza wajalla- mengitsbat tangan Allah dan sifat-sifat lainnya yang ditolak oleh kaum Jahmiyah.
Imam Adz-Dzahabi –rahimahullah- ketika menukilkan sejmulah perkataan ulama untiuk menguatkan hujjahnya bahwa Allah -Azza wajalla- berada di atas lagit secara hakikat, beliau juga menukil perkataan imam al-Bukhari -rahimahullah-. Setelah menukilkan perntyataan imam al-Bukhari –rahimahullah- imam adz-Dzahabi -rahimahullah- berkata:
وَبَوَّبَ على أكثر ما ينكر الجهمية وتناوله، من العلو، والكلام، واليدين، والعين، ونحو ذلك محتجاً بآيات الصفات وأحاديثها، فمن تبويبه: باب قوله {إِلَيْهِ يَصْعَدُ اَلكَلِمُ اَلطَّيِّب}. وباب قوله {لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ}.وباب قوله{وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي}. وباب كلام الرب مع الأنبياء وغيرهم. ونحو ذلك مما إذا تدبره اللبيب، علم بتبويبه رحمه الله وذكره لمثل تلك [الآيات] والأحاديث أن الجهمية تنكر ذلك وتحرفه
“Imam al-Bukhari –rahimahullah- telah membuat bab-bab mengenai sifat Allah yang banyak diingkari oleh kaum Jahmiyah, berupa sifat Uluw, Kalam, memiliki dua tangan, memiliki mata dan selainnya dengan berhujjah menggunakan ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Diantara bab yang beliau buat adalah bab Firman Allah “Ilaihi Yash’adu al-Kalimu ath-Thayyib” (Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik), juga bab firman Allah “Lima Khalaqtuka biyadayya” (Sebagaimana Aku menciptakanmu dengan dua Tanganku), juga bab firman Allah “Walitushna’a ‘alaa ‘aini” (dan supaya kamu diasuh di bawah mata-Ku), juga bab “Kalam ar-Rab Ma’a al-Anbiya wa Ghairihim” (Kalam Rab kepada para Nabi dan selain mereka) dan bab-bab seperti itu jika ditadabburi oleh seorang yang pandai maka ia akan mengetahui maksud dari pembuatan bab-bab dengan menyebut ayat-ayat dan hadits-hadits itu, yaitu untuk menjelaskan bahwa Jahmiyah telah mengingkari dan menyelewengkan maknanya.” (Adz-Dzahabi, Kitab al-Arsy, Tahqiq Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimi, Jilid 2, hal. 258, Adhwau as-Salaf-Riyadh, cet. 1, 1420 H.)
Maka perlu dipertayakan, dimanakah persamaan akidah imam al-Bukhari –rahimahullah- dengan akidah mereka? Sungguh mereka telah berdusta dan mengelabui manusia. Wallahul musta’an.
Klik disini untuk sedekah dakwah, untuk membantu dakwah kami
Share Artikel Ini